Siapa yang ingin hidupnya gembira? Kehadiran Yesus adalah kabar sukacita bagi manusia. Sebagai pengikut Kristus kita mengamini hal itu. Namun, kita yang oleh karena baptisan diutus juga untuk mewartakan Injil juga tidak selalu gembira, bukan?

Paus Fransiskus pada tanggal 26 November 2013 mengeluarkan surat anjuran untuk pewartaan Injil di dunia sekarang ini. Surat yang berjudul Evangelii Gaudium, Sukacita Injil, ditulis dengan tujuan untuk membuka tahapan baru pewartaan Injil yang ditandai dengan sukacita (Evangelii Gaudium, no. 1/EG no. 1). Surat anjuran ini mengambil konteks konsumerisme yang membuat umat Katolik tersesat dalam kegembiraan yang keliru. Konsumerisme membuat orang mencari nikmat artifisial. Akibatnya, umat Katolik mencari kepuasan diri sendiri, tamak, tumpul hati nuraninya, dan kurang peduli pada sesama (EG no. 2). Untuk menanggapi situasi itu, paus Fransiskus mengajak umat Katolik untuk mengalami perjumpaan personal dengan Kristus. Perjumpaan personal dengan Kristus akan membawa orang untuk senantiasa melakukan pertobatan, terutama dari cinta diri (EG no. 8). Ketika bisa mengendalikan cinta diri, orang bisa melakukan kasih kepada sesama dengan tulus. Tindakan kasih pada sesama itu menjadi daya tarik dari orang-orang yang dibaptis.

Paus Fransiskus menegaskan bahwa kehidupan bertumbuh dan menjadi matang jika dipersembahkan dengan memberikan kehidupan kita kepada sesama. Itulah kegembiraan kita sebagai para pengikut Kristus. Konsekuensinya, seorang pewarta Kabar Sukacita tidak pernah boleh terlihat seperti orang yang pulang dari pemakaman (EG no. 10). Pewarta Injil perlu gembira karena sukacita bersifat menular. Sukacita adalah kebaikan. Kebaikan itu selalu cenderung menyebar (EG no. 9).

Evangelii Gaudium mengajak para pewarta untuk menemukan kegembiraan dalam hidupnya karena yang ia wartakan adalah kabar gembira. Sungguh aneh jika mewartakan kabar gembira dengan raut muka sedih. Jika demikian, kegembiraan atas penebusan Tuhan Yesus belumlah menyentuh hati pewarta tersebut. Maka pewarta Injil perlu gembira. Namun kita malah sering mengalami kesedihan oleh karena beberapa hal berikut ini:

  1. a.Spiritulitas individualistis

    Gaya hidup yang memikirkan dirinya sendiri akan membuat pewarta lupa akan Tuhan dan akan sesama. Ia akan mengesampingkan perannya bagi orang lain. Ia akan memanfaatkan pelayanan untuk keuntungannya sendiri. Ia ingin berkuasa dan dihargai dalam pelayanan (EG no. 96). Ia mampu mengatur hal-hal praktis untuk meningkatkan harga diri dan realisasi diri (EG no. 95). Ketika ia tidak menemukan penghargaan di karya pelayanannya, ia menjadi sedih dan kecewa.

  2. b.Krisis identitas

    Ketika pewarta Injil tidak yakin dengan kemampuannya, ia juga mengalami kesedihan dalam pelayanan. Ia merasa iri dengan pelayan lain yang tampak lebih baik dari padanya. Ketidakpercayaan ini menjadi sumber keengganan untuk melayani. Komitmen melayani mereka menjadi lemah. Mereka mencekik sukacita perutusan dengan semacam obsesi ingin menjadi seperti orang lain dan ingin memiliki seperti yang dimiliki orang lain. Akibatnya, karya pewartaan dilakukan secara terpaksa dan hanya mau mengorbankan sedikit energi, waktu secara terbatas untuk pewartaan (EG no. 79).

  3. c.Kemalasan

    Pewartaan akan menambah kesibukan seseorang. Adakalanya pewarta takut menerima tanggung jawab baru karena tidak ingin waktu luangnya tersita untuk hal lain (EG no. 81). Ada pula yang menjadi pewarta dengan motivasi yang tidak lurus sehingga ketika harapan pribadinya tidak terpenuhi, ia kehilangan semangat untuk melayani (EG no. 82). Pewarta bisa terjebak pula pada keengganan untuk melepaskan kepahitan hidup sehingga bukan kegembiraan yang terpancar tetapi kesedihan (EG no. 83).

Lalu bagaimana kita dapat menjadi pewarta Injil yang gembira? Evangelii Gaudium menawarkan cara berpikir yang bisa membantu kita untuk gembira atau setidaknya mengurangi kesedihan.

  1. a.Allah sumber sukacita

    Asal sukacita itu dari Allah sendiri, perjumpaan dengan pribadi Yesus, bukan karena terpenuhinya ribuan syarat (EG no. 7). Perjumpaan pribadi itu membuatnya memancarkan keceriaan karena telah lebih dahulu menerima sukacita Kristus (EG no. 10). Kabar sukacita itu adalah bahwa Allah yang mewahyukan kasih-Nya yang sangat besar dalam Kristus yang disalibkan dan bangkit mulia (EG no. 11). Dengan perkataan lain, pewarta sudah merasa tenang karena sadar Tuhan telah menebus dosanya dan tetap menyertainya.

  2. b.Pemberian diri membawa sukacita

    Paus Fransiskus menegaskan bahwa dengan memberikan diri bagi pelayanan pada sesama, kita menjadi pribadi yang lebih gembira dan matang (EG no. 10). Kita tidak terlilit oleh egoisme yang membuat kita resah dan takut.

  3. c.Pewartaan Injil adalah karya Allah

    Pewartaan Injil memang menuntut kemurahan hati yang besar dari pihak kita, tetapi akan salah jika melihatnya sebagai usaha pribadi yang heroik, sebab misi itu pertama-tama dan terutama adalah karya Allah sendiri. Yesus adalah pewarta Kabar Sukacita yang pertama dan terbesar (EG no. 12). Kita hanyalah sarana-Nya. Jika kita merasa gagal atau memiliki kekurangan di sana-sini, biarlah Tuhan yang akan menyempurnakannya.

  4. d.Pasrahkan pada karya Tuhan

    Saat sebutir benih ditaburkan dan disemaikan di satu tempat, tidak diperlukan penjelasan tentang bagaimana proses bertumbuhnya (Mark. 4:27). Juga tidak diperlukan tanda-tanda lainnya. Benih itu akan tumbuh dengan sendirinya. Begitu juga dengan orang-orang yang kepadanya kita wartakan Injil. Roh Kudus akan bekerja dalam hati mereka sebagaimana Roh Kudus juga senantiasa menuntun Yesus untuk pergi ke kota-kota lain (Mark. 1: 38).

Sukacita merupakan rahmat Tuhan sendiri. Kita sebagai pewarta Injil perlu bergembira karena perutusan kita. Sukacita Injil yang memenuhi kembali komunitas para murid adalah sukacita perutusan. Ketujuh puluh murid merasakannya saat kembali dari perutusan (Luk. 10:17). Sukacita ini adalah tanda bahwa Injil telah dimaklumkan dan menghasilkan buah. Dorongan untuk pergi keluar dan memberi, untuk keluar dari diri sendiri, untuk gigih maju terus menaburkan benih-benih yang baik (EG no. 21). Dengan menjalankan perutusan, kita memberikan hidup untuk Tuhan dan sesama. Hidup menjadi berkembang ketika dipersembahkan bagi sesama (EG no. 10).

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Open chat
Kontak Sekretariat
Silahkan klik untuk chat dengan sekretariat