Dalam Gereja Katolik, dikenal istilah domisili dan kuasi domisili. Kedua istilah ini berkaitan dengan status tempat tinggal seorang Katolik. Tempat tinggal ini akan menentukan jalur komunikasi dan pelayanan gerejawi. Dalam Kanon 102 – § 1, domisili diperoleh dengan bertempat-tinggal di wilayah suatu paroki dengan maksud untuk tinggal secara tetap di sana dan tidak ada alasan untuk berpindah, atau sudah berada di situ selama genap lima tahun. Misalnya, keluarga baru yang membeli perumahan di wilayah Paroki Kotabaru karena memang ingin tinggal di situ seterusnya. Dengan maksud ini, keluarga baru tersebut memiliki domisili di Paroki Kotabaru.
Dalam Kanon 102 – § 2, kuasi-domisili diperoleh dengan bertempat-tinggal di wilayah suatu paroki dengan maksud untuk tinggal di sana sekurang-kurangnya selama tiga bulan dan tidak ada alasan untuk berpindah, atau kalau ternyata sudah berada di situ selama tiga bulan. Misalnya, mereka yang indekos di wilayah Paroki Kotabaru karena sedang kuliah di Jogja. Karena tujuan mereka datang ke Jogja untuk menempuh studi, bisa diperkirakan bahwa mereka hanya tinggal sementara di Jogja. Mereka ini memiliki kuasi domisili di Paroki Kotabaru.
Kejelasan domisili atau kuasi domisili ini akan membantu untuk mencari jalur komunikasi dan pelayanan (sakramental atau pun pelayanan lainnya). Karena sudah mendapat status domisili atau kuasi domisili di Paroki Kotabaru, mereka berhak memperoleh pelayanan dari Paroki Kotabaru dan juga diajak untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja Kotabaru. Hal ini penting karena iman Katolik akan tumbuh dan terpelihara dalam komunitas umat beriman. Maka umat Katolik pendatang yang menempati wilayah paroki baru harus mencari tahu di lingkungan dan paroki manakah dia tinggal. Umat ini perlu menjalin komunikasi dengan ketua lingkungan dan umat Katolik sekitarnya selain dengan ketua RT/RW.
Dalam Kanon 105 – § 1, anak yang belum dewasa (belum genap 7 tahun) dengan sendirinya mempunyai domisili dan kuasi-domisili orang yang berkuasa atas dirinya. Maka anak-anak yang belum genap 7 tahun (anak usia 7 tahun dianggap sudah bisa berpikir sendiri) mengikuti domisili atau kuasi domisili orang tuanya. Dalam Kanon 105 – § 2, mereka yang secara sah diserahkan di bawah perwalian atau pengawasan orang lain mempunyai domisili atau kuasi-domisili wali atau penanggungjawabnya. Misalnya, mereka yang tinggal di asrama atau dititipkan di rumah kakek/nenek memiliki domisili atau kuasi domisili yang sama dengan pimpinan asrama atau kakek/nenek itu. Berdasarkan kanon 106, domisili dan kuasi-domisili hilang ketika seseorang pergi dari tempat itu dengan niat untuk tidak kembali lagi.
Semoga dengan penjelasan singkat ini, Ibu-bapak/saudari-saudara bisa mengetahui jalur komunikasi dan pelayanan yang Anda butuhkan. Tuhan memberkati. AMDG

Rm. A. Winaryanta SJ

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Open chat
Kontak Sekretariat
Silahkan klik untuk chat dengan sekretariat